Jumat, 05 Agustus 2011

Bukan Segalanya

Sesungguhnya uang bukanlah segalanya. Tentu bukan karena sekarang sudah ada master card, visa atau kartu kredit lainnya; juga bukan karena orang saat ini bisa melakukan berbagai macam transaksi elektronik lainnya tanpa harus punya uang tunai.

Memang, uang bukan segalanya. Sebab faktanya, uang tidak bisa membeli segalanya. Dengan uang manusia memang bisa membeli segala macam kemewahan, namun tidak keberkahan dan kebahagiaan. Dengan uang manusia mampu membeli kedudukan dan jabatan, tetapi tidak kewibawaan dan kehormatan. Dengan uang manusia memang sanggup memiliki wanita impian dan anak-anak harapan, tetapi tidak ke-sakinah-an, ke-mawadah-an dan ke-rahmah-an. Dengan uang manusia memang dapat bersenang-senang di dunia, tetapi tidak kebahagiaan hakiki di akhirat.

Dengan uang manusia—saat sakit—memang bisa membeli obat dan dirawat di rumah sakit berkelas dengan pelayanan yang ekstra memuaskan, namun tak mungkin mampu membeli kesehatan. Dengan uang manusia memang bisa membeli kecantikan dengan operasi plastik yang super canggih, namun tidak akan sanggup membeli umur yang panjang. Dengan uang manusia bisa merawat tubuh dan wajah hingga tetap tampil awet muda, tetapi ia tak akan pernah bisa mengembalikan masa mudanya. Dengan uang manusia memang bisa membeli jam tangan super mewah bertahtakan berlian berharga miliaran, tetapi tidak mungkin sanggup membeli waktu meski hanya sedetik. Dengan uang seorang Muslim bisa berhaji berkali-kali, namun tidak kemabrurannya.

Dengan uang bahkan seorang aktivis dakwah dapat cukup hanya menginfakkan sebagian kecil—atau setengah, bahkan mungkin sebagian besar—hartanya di jalan dakwah, tetapi tentu hal itu tidak bisa dijadikan sebagai kompensasi dari dakwahnya. Dakwah tetaplah kewajiban yang tidak bisa digantikan dengan uang. Bahkan sesungguhnya tidak ada kafarat bagi amalan dakwah yang ditinggalkan. Itulah mengapa, walau Abu Bakar ash-Shiddiq ra., Utsman bin Affan ra., Abdurrahman bin Auf ra., Mush’ab bin Umair ra. adalah di antara sebagian Sahabat yang banyak harta, mereka tetaplah para pengemban dakwah dan pembela Islam garda depan. Bahkan harta dan kemewahan mereka gadaikan semata-mata untuk dakwah. Sebelum maupun setelah berdirinya Daulah Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dan Utsman bin Affan ra. dikenal sebagai aghniya’ yang menghabiskan sebagian besar hartanya untuk kepentingan dakwah dan jihad fi sabilillah. Sebelum maupun setelah berdirinya Daulah Islam, Abdurrahman bin Auf ra. juga mengorbankan sebagian besar hartanya untuk kepentingan dakwah dan jihad fi sabilillah. Adapun Mush’ab bin Umair ra. yang terkenal sebagai pemuda kaya-raya dan tampan, sebelum berdirinya Daulah Islam ia meninggalkan segala kemewahan hidupnya. Itu terus berlangsung hingga pada saat meninggal dunia, pada masa berdirinya Daulah Islam, ia hanya meninggalkan sehelai kain yang bahkan tak cukup untuk sekadar dijadikan kafannya. Padahal, sebelum masuk Islam, ayahnya dengan entengnya pernah membelikan bagi dirinya sehelai baju seharga 200 dirham atau setara dengan Rp 14 jutaan! (1 dirham=2.975 gr perak murni=Rp 70.379,-. Sumber: Geraidinar.com, 19/5/2011, pk. 06.30).

Namun memang, sebagaimana kata sebagian orang, tanpa uang kita tak bisa meraih segalanya. Makan-minum butuh uang. Berpakaian butuh uang. Untuk punya rumah butuh uang. Sehat butuh uang. Sekolah butuh uang. Apalagi dalam sistem kapitalis saat ini. Tanpa uang kita bahkan tak bisa beribadah, paling tidak untuk membeli pakaian yang dapat menutup aurat kita. Tanpa uang, kita pun tak bisa berdakwah yang sering membutuhkan dana tak sedikit. Demikian seterusnya. Tentu di sini semuanya sepakat, tak perlu ada perdebatan.

Namun, semesta pembicaraan dalam tulisan ini bukanlah itu. Melalui tulisan ringan ini, saya hanya ingin kita semua merenung, bahwa manusia sering lupa dan khilaf: meski uang bukan segalanya, tak jarang sebagian besar pikiran, energi dan waktu mereka hanya difokuskan untuk mencari dan mengumpulkan uang. Ada yang setiap hari, selama puluhan tahun, sebagian dari umurnya dihabiskan untuk bekerja dengan berangkat dini hari dan baru pulang larut malam, demi mencari uang. Hari libur pun dijadikan sekadar untuk menghilangkan kepenatan sesaat selepas bekerja demi uang. Tak jarang, ibadah kepada Allah SWT dan urusan agama terlupakan; apalagi urusan memikirkan umat dan perkara dakwah, tak ada dalam catatan hariannya.

Bagaimana dengan kita yang telah memposisikan diri sebagai pengemban dakwah? Sejatinya, saat sudah sering diteguhkan dalam diri kita bahwa dakwah adalah “poros hidup” kita, maka idealnya yang menjadi fokus kita dalam hidup ini adalah dakwah. Bukan berarti urusan nafkah atau uang tidak penting. Namun, jangan sampai urusan nafkah melalaikan urusan dakwah. Jangan sampai berbicara tentang uang dan urusan mengejar kekayaan lebih banyak daripada membincangkan urusan dakwah serta aktivitas menegakkan syariah dan Khilafah. Jangan sampai pula, karena itu, kita lebih dikenal sebagai pemburu harta dan kekayaan daripada dikenal sebagai pejuang syariah dan Khilafah. Pun demikian, bagi para pengemban dakwah yang secara ekonomi kekurangan. Jangan pula mencari penghidupan atau ma’isyah melupakan urusan dakwah. Singkatnya, jangan sampai urusan mencari “sesuap nasi” atau urusan “menambah cabang usaha warung nasi” melenakan kita dari urusan dakwah ini. Tegasnya, jangan sampai kekayaan kita—ataupun kemiskinan kita—melalaikan kita dari urusan agama dan perjuangan yang amat mulia ini. Jika itu yang terjadi, sesungguhnya kita lebih mencintai semua itu ketimbang Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT sendiri telah menyatakan demikian dalam al-Quran (yang artinya): Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik (QS at-Taubah [9]: 24).

Semoga kita bukan termasuk yang demikian. Wama tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar