Sabtu, 29 Januari 2011

Motivasi

Terus terang, saya merasa terlahir kembali sebagai seorang Muslim,” kata mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta itu. “Training motivasi ini luar biasa! Sungguh, tak sia-sia meski saya harus membayar mahal untuk kegiatan ini,” imbuhnya lagi sambil mengusap air mukanya dengan selembar tisu. Tampak ia baru saja menangis, tetapi juga setelah itu wajahnya tampak lebih cerah, lebih semangat dan lebih optimis dari sebelumnya. Ia baru saja menyelesaikan hari terakhir dari tiga hari masa training motivasi keislaman itu, yang diisi oleh seorang trainer Muslim terkemuka di Tanah Air. Sang trainer, dengan dukungan multimedia dan retorikanya yang memikat, benar-benar mampu membang-kitkan kembali kesadaran spiritual dan ghirah keberislaman hampir seluruh peserta dari sekian ratus peserta yang hadir selama tiga hari itu.

Namun sayang, tak semua alumni training itu benar-benar istiqamah dengan kesadaran spiritual baru yang mereka dapatkan. Banyak dari alumni itu yang kemudian—tak sampai beberapa minggu berlalu—kembali ’futur’. Kesadarannya kembali tergerus oleh rutinitas kehidupannya, juga lingkungannya, yang memang tak pernah benar-benar mendukung bagi terus tumbuh dan berkembangnya kesadaran spiritual itu. Shalatnya kembali ’bolong-bolong’. Tilawah al-Qurannya kembali ia tinggalkan. Gairahnya untuk menuntut ilmu kembali menyusut. Semangatnya untuk beramal shalih kembali pudar. Keterikatannya dengan syariah kembali terlepas. Ghirah dakwahnya kembali meredup. Pada sebagian alumni, seolah-olah training motivasi yang ’luar biasa’ itu tak berbekas sama sekali. Bahkan sebagian dari mereka kembali pada kebiasaan-kebiasaan buruk semula.

Jika demikian, sia-siakah menjamurnya training-training keislaman semacam ini? Tentu tidak. Lalu adakah yang salah dengan training-training itu? Tidak juga. Sebagai sebuah upaya, kegiatan keislaman bertajuk training motivasi atau semacamnya banyak manfaatnya. Namun demikian, tulisan ini tak hendak mengurai lebih jauh manfaat dari kegiatan tersebut. Tulisan ini hanya ingin mengajak diri kita merenung: Mengapa banyak umat, termasuk pengemban dakwah, butuh dengan training-training motivasi keislaman dengan ragam bentuknya itu? Mengapa banyak Muslim begitu antusias—meski harus mengeluarkan ratusan ribu hingga jutaan—mengikuti kegiatan-kegiatan semacam itu, bahkan tak cukup hanya satu-dua kali? Tak cukupkah al-Quran dan as-Sunnah—yang kata Baginda Nabi saw. masing-masing merupakan wacana terbaik (khayr al-kalam) dan petunjuk terbaik (khayr al-hady)—menjadi sumber motivasi?


Optimisme

Empat belas abad yang lalu Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, sepeninggalku akan ada para penguasa negara yang mementingkan diri sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak kalian sukai.” Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami ketika mengalami peristiwa tersebut?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah kewajiban kalian dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR Muslim).

Apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw. tersebut tampak jelas dalam perilaku para penguasa saat ini. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Rahmat Waluyanto, mengakui bahwa Indonesia akan menambah hutang pada tahun 2011 sebesar Rp 200,6 triliun. Tentu, ini harus dibayar oleh rakyat. Namun, realitasnya uang rakyat itu digasak oleh penguasa. Sekadar contoh, kita tahu beberapa waktu lalu ramai pembangunan gedung mewah DPR berfasilitas SPA dan kolam renang senilai Rp 1,8 triliun, biaya pembahasan RUU inisiatif DPR sebesar 170 miliar, dana aspirasi Rp 8,4 triliun, bagi-bagi cek kosong Rp 1,1 triliun, dan tak ketinggalan penyelewengan pembangunan Rumah Jabatan Anggota DPR di Kalibata serta dana plesiran ke luar negeri yang nilainya triliunan. Kalangan menteri pun demikian. Sebut saja proyek renovasi interior rumah dinas Menteri Keuangan yang menelan biaya Rp 3,4 miliar (pada pertengahan 2008 berbiaya Rp 2,1 miliar dan awal 2009 menelan anggaran hingga Rp 1,3 miliar).

Kasus hukum yang melibatkan pejabat seperti kasus Century, kasus rekening gendut para jenderal, kasus suap pemilihan Gubernur Bank Indonesia, dan kasus mafia pajak Gayus Tambunan tak diselesaikan dengan serius. Sadar atau tidak, para penguasa sedang menggiring kita secara sengaja, terprogram dan terencana menuju kebinasaan. Lupakah kita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang-orang sebelum kalian menjadi binasa karena jika ada orang dari kalangan terhormat (pejabat, penguasa, elit masyarakat) mencuri, mereka membiarkannya dan jika ada orang dari kalangan rendah (masyarakat rendahan, rakyat biasa) mencuri, mereka menegakkan sanksi hukuman atasnya. Demi Allah, sendainya Fatimah binti Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya.” (HR al-Bukhari).


Jumat, 21 Januari 2011

Belajar dari Tumbangnya Rezim Sekuler Tunisia

Kejatuhan rezim diktator boneka Barat yang menerapkan kapitalisme tinggal menunggu waktu, perubahan ke arah tegaknya syariah dan Khilafah akan menjadi solusi di masa depan

Akhirnya rezim Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali tumbang. Penguasa diktator yang telah memerintah selama 23 tahun, melarikan diri ke Saudi Arabia. Ben Ali dipaksa mundur karena gelombang unjuk rasa anti pemerintah. Kegagalan Ben Ali menyejahterakan rakyat ditambah pemerintahan yang represif selama ini membuat rezim ini tumbang.

Ben Ali dikenal anti Islam, jilbab dilarang. Polisi akan menangkap wanita di jalan yang memakai jilbab . Aktifis yang memperjuangkan syariah dan Khilafah disiksa dan dijebloskan ke dalam bui . Ben Ali juga bernafsu merubah akar Islam Tunisia menjadi masyarakat liberal ala Perancis yang menjadi tuannya.

Tak ayal, tumbangnya Ben Ali, menularkan rasa takut pada para diktator lain yang bertebaran di Timur Tengah dan Afrika. Salah seorang anggota Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika, mengingatkan tumbangnya rezim Tunisia harus menjadi pelajaran bagi para diktator Afrika lainnya. Hal yang sama bisa terjadi pada mereka.


Sabtu, 08 Januari 2011

Menolak Musibah Dengan Dakwah


Musibah atau bencana itu ada dua: pertama, bencana alam karena benar-benar akibat faktor alam seperti: gunung meletus, gempa bumi, kekeringan karena musim kemarau panjang, dll. Kedua, ‘bencana kemanusiaan’ karena memang akibat ulah manusia seperti: banjir dan longsor akibat hutan banyak ditebangi dan gunung banyak digunduli, kemiskinan di tengah melimpahruahnya kekayaan alam akibat kekayaan itu dikuasai segelintir orang, maraknya penyakit kelamin dan AIDs karena merajalelanya perzinaan dan penyalahgunaan narkoba, dll.

Bencana alam tentu merupakan qadha’ Allah SWT yang tidak bisa ditolak oleh siapapun. Bagi seorang Muslim, bencana alam bisa merupakan cobaan atau ujian. Bencana ini hanyalah agar kita bersabar (QS al-Baqarah [2]: 155-157). Namun, bencana kemanusiaan lebih merupakan peringatan yang Allah SWT timpakan kepada manusia sebagai akibat kemaksiatan mereka. Bencana ini adalah agar manusia segera ingat kepada Allah SWT, dengan segera meninggalkan kemaksiatannya dan segera kembali (bertaubat) kepada-Nya (QS ar-Rum [30]: 41). Bencana kemanusiaan ini sejatinya bisa dihindari oleh manusia. Kuncinya ada dua: Pertama, manusia tidak gemar melakukan kemaksiatan. Kedua, di tengah-tengah mereka selalu berlangsung aktivitas dakwah serta amar makruf nahi munkar.

Sayang, selain justru banyak manusia gemar melakukan kemaksiatan, aktivitas dakwah dan amar makruf nahi munkar pun banyak ditinggalkan oleh kebanyakan kaum Muslim. Padahal jelas, kedua aktivitas ini wajib bagi setiap Muslim. Banyak nash Alquran maupun Hadits yang memerintahkan kewajiban ini. Allah SWT, antara lain, berfirman: Kaum Mukmin laki-laki dan wanita itu sebagian mereka adalah penolong sebagian yang lain; mereka melakukan amar makruf nahi mungkar… (TQS at-Taubah [9]: 71); Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, melakukan amar makruf nahi munkar, dan beriman kepada Allah… (TQS Ali Imarn [3]: 110); “Wahai anakku, dirikankanlah shalat dan lakukanlah amar makruf nahi mungkar…” (TQS Luqman [31]: 17).

Kamis, 06 Januari 2011

Takut Kepada Allah Melahirkan Jiwa Kesatria, Perkasa Dan Berwibawa

Adanya rasa takut dalam diri manusia adalah hal biasa (alami). Sebab rasa takut itu merupakan salah satu inidikasi dari naluri untuk bertahan hidup (gharîzah al-baqâ’) yang ada di dalam diri manusia. Ketika indikasi ini tergerak oleh sesuatu apapun, maka manusia akan menghadapinya dengan dorongan akidah yang dimilikinya, serta menentukan perilaku sesuai pemahamannya tentang sesuatu yang telah membangkitkan rasa takut dalam dirinya. Jika pemahamannya ini salah, maka akan melahirkan perilaku yang salah. Sebaliknya, jika pemahamannya ini benar, maka akan melahirkan perilaku yang benar pula.

Dengan demikian, rasa takut mungkin melahirkan kepengecutan dan kerendahan jika itu dihasilkan dari rasa takut kepada manusia; ia mendekat pada manusia untuk mencari kerelaannya, dan untuk mendapatkan kesenangan duniawi yang dimilikinya. Sebaliknya, rasa takut mungkin melahirkan keperkasaan dan kemuliaan jika itu dihasilkan dari rasa takut kepada Allah SWT, dengan mencari ridha-Nya, dan kenikmatan surga-Nya.

Sungguh penting sekali bagi kaum Muslim yang menginginkan kebangkitan dari bencana dan malapetaka yang mewarnai kehidupannya sepanjang hari, agar mereka tidak takut kecuali kepada Allah Yang Mahakuasa atas hamba-Nya. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang perkasa dalam ibadahnya, serta menjadi orang-orang yang paling mulia ketika hidup dan matinya.

Allah SWT berfirman: “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al-Qur’an dan kenabian Muhammad Saw). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh?” Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).” (TQS. Al-Maidah [5] : 83-85).

Yang Terbaik

Beberapa saat menjelang Perang Khaibar, Baginda Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Suhail bin Saad ra., bersabda kepada para Sahabat, “Besok, bendera ini benar-benar akan aku berikan kepada orang yang lewat kedua tangannya Allah SWT memberikan kemenangan; ia mencintai Allah dan Rasul-Nya; Allah dan Rasul-Nya pun mencintai dirinya.”

Pada malam harinya, tutur Suhail, para Sahabat bertanya-tanya dalam hatinya masing-masing, siapakah gerangan orang yang akan diserahi bendera Rasul itu? Karena itu, keesokan harinya masing-masing bersegera dan berlomba menemui Baginda Rasulullah saw.; masing-masing berharap bahwa bendera itu akan Rasul saw. berikan kepada dirinya. Saat mereka sudah berada di hadapan Rasul saw., beliau bertanya, “Mana Ali?”

“Wahai Rasulullah saw., matanya sedang sakit,” jawab para Sahabat.

Baginda Rasul saw. lalu mengirim utusan untuk memanggil Ali bin Abi Thalib ra. Setelah Ali ra. hadir di hadapan beliau, beliau segera meludahi kedua matanya seraya berdoa bagi kesembuhannya. Dengan izin Allah SWT, seketika kedua mata Ali ra. sembuh, seakan-akan sebelumnya ia tidak merasakan sakit. Baginda Rasul saw. lalu segera menyerahkan bendera itu kepada Ali ra. Ali ra. berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.”

“Pergilah engkau hingga tiba di tempat mereka. Kemudian serulah mereka untuk masuk Islam. Beritahukanlah kepada mereka hak-hak Allah yang harus mereka tunaikan. Demi Allah, andaikan Allah SWT memberikan hidayah kepada seseorang lewat dirimu, itu lebih baik bagimu daripada engkau memiliki keledai yang paling bagus.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sabtu, 01 Januari 2011

Mari Bersyukur Setiap Waktu


Pernahkah Anda berpikir berapa kekayaan setiap orang jika dihargai dengan uang? Berapakah harga tubuh manusia jika diuangkan? Berapa harga mata, hidung, telinga, mulut, otak, kepala, lidah, tangan kaki dan apa saja yang menjadi bagian dari tubuh manusia jika dirupiahkan?

Saat mata kita sehat, kita tak pernah berpikir betapa berharganya mata kita. Coba saja jika suatu ketika mata Anda, karena satu sebab kecelakaan tertentu, menjadi buta. Kebetulan Anda memiliki tabungan milyaran rupiah. Apa yang Anda lakukan? Anda pasti akan membayar berapa milyar pun untuk mengembalikan penglihatan Anda. Tak peduli jika untuk itu tabungan Anda terkuras nyaris habis. Saat tangan atau kaki kita sehat dan normal, kita pun mungkin jarang berpikir betapa bernilainya kedua anggota tubuh kita itu. Namun, pernahkah Anda membayangkan andai suatu saat, karena satu sebab musibah tertentu, tangan atau kaki Anda itu harus diamputasi? Pasti, jika kebetulan Anda orang kaya, Anda akan sanggup mengeluarkan ratusan juta atau bahkan milyar rupiah asal tangan atau kaki Anda tidak diamputasi dan kembali sehat serta normal seperti sedia kala. Bagaimana pula jika satu sebab bencana tertentu wajah Anda yang ganteng/cantik tiba-tiba harus menerima kenyataan rusak parah tak berbentuk akibat terbakar hebat atau terkena air keras? Pasti, Anda pun dengan ikhlas dan rela akan melepaskan harta apa saja yang Anda miliki asal wajah Anda bisa kembali ganteng/cantik seperti sedia kala.

Sudah banyak bukti, orang-orang yang berpunya sanggup mengorbankan hartanya sebanyak apapun demi mengembalikan kesehatannya; demi sembuh dari penyakit jantung, kanker, kelumpuhan, kecacatan dll. Bahkan demi mengembalikan agar kulitnya menjadi kencang, atau agar keriput di wajahnya bisa hilang, banyak orang rela merogoh sakunya dalam-dalam.

Sukses itu bersinergi, bukan berseteru

Kisah bermula di sebuah Kongres Anggota Tubuh Manusia. Pak Jantung memimpin sesi sidang “Pemberian Penghargaan Pada Anggota Tubuh Manusia Terpenting Tahun ini”. Dalam pidato pengantarnya, Pak Jantung berkata ,”Saudara-saudaraku sesama anggota tubuh, sebagaimana kita tahu tuan kita sangat menginginkan kinerja kesehatannya meningkat tahun ini. Peningkatan ini hanya mungkin, kalau kita semua memperbaiki kinerja masing-masing. Nah, untuk memicu dan memacu peningkatan kinerja itu, tuan kita berkenan memberikan penghargaan kepada anggota tubuh terpenting. Untuk itu, kita harus menentukan siapa di antara kita yang layak untuk mendapatkannya.”

Sidang seketika hening. Semua bingung karena sulit untuk menentukannya. Mas Mata merasa dirinya paling penting, karena tanpa dirinya, tuannya pasti akan kelimpungan ketika berjalan. Jeng Bibir juga merasakan hal yang sama, karena dialah juru bicara andalan tuannya. “Coba kalau saya mogok kerja, pasti tuan dikira bisu!”. Pak Jantung tak mau kalah. “Kalau saya mau mogok kerja 1 detik saja, dunia pasti kiamat Bung!” Akhirnya, ruangan kongres pun gaduh. Gaduh sana dan gaduh sini.