Sabtu, 11 Juni 2011

Buku Laris: Retorika Mengguncang Dunia


Retorika itu dapat diibaratkan sebagai sebuah peluru kendali. Mengapa orang bisa takut dengan sebuah rudal? Apakah bentuknya yang besar, panjang, plus sangar? Jika ada sebuah rudal yang besar, panjang dan sangar, namun kepala rudal itu hanya membawa serbuk petasan, apakah rudal itu akan menakutkan? Dalam dunia retorika, seseorang yang mempunyai kemampuan retorika tertentu, dia akan dapat membuat para pendengarnya tertawa terpingkal-pingkal, seseorang juga dapat membuat penontonnya menangis tersedu-sedu, demikian juga retorika itu ternya dapat juga membuat dunia menjadi terguncang dengan guncangan yang begitu dahsyatnya. Apa kunci dari semua itu? Jawabnya adalah sama, yaitu sangat ditentukan oleh isi kepala yang dibawa oleh oratornya.

Apa yang dimaksud dengan isi kepala itu? Tidak lain adalah ide atau gagasan yang hendak dilemparkan dihadapan segenap para pendengarnya. Buku ini tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu retorika, tetapi retorika plus. Buku retorika yang diharapkan benar-benar dapat dijadikan pegangan bagi mereka yang menginginkan terjadinya perubahan di atas muka bumi ini. Kunci perubahan itu tidak lain adalah ide yang dahsyat, ide yang benar-benar dapat mengguncang seluruh isi muka bumi ini. Insya Allah. Harga Rp. 65.000,-, Hub: 081 805 038 481

Cinta

Bruk! Untuk ke sekian kali, kepala ustadz muda itu terbentur. Kali ini kepalanya membentur kusen pintu masjid saat ia hendak keluar seusai menunaikan shalat ashar berjamaah. Saat itu, setelah shalat, ia memang agak buru-buru karena harus segera menemui seseorang untuk kepentingan dakwah.

‘Peristiwa biasa’ yang saya saksikan dari jarak kira-kira lima meter itu, entah mengapa, membuat hati saya trenyuh. Saya pun menangis dalam hati. Tidak lain karena ustadz muda yang saya ceritakan kali ini adalah seorang yang buta. Namun, kondisinya yang buta itu tidak pernah menyurutkan langkahnya untuk senantiasa menunaikan shalat berjamaah di masjid lima kali sehari. Hal itu sudah bertahun-tahun ia jalani, terutama sejak ia mengalami kebutaan permanen sekitar tiga-empat tahun lalu. Saya pun teringat Sahabat Nabi saw. Abdullah bin Ummi Maktum yang juga buta. Ia pun senantiasa shalat berjamaah di masjid karena memang Nabi saw. tidak memperkenankan dirinya shalat di rumah selama ia mendengar azan di masjid.

Sebetulnya, bukan pemandangan itu benar yang membuat hati saya trenyuh. Bukan pula semata-mata karena ustadz muda yang baru beberapa bulan lalu saya kenal itu matanya buta yang membuat saya menangis dalam hati. Lagi pula saya tidak sedang menangisi dia. Sebab, toh dari kata-kata dan sikapnya selama ini, saya tahu ia pun tidak pernah menampakkan kesedihan dan meratapi diri karena kondisinya yang buta itu. Padahal sudah tak terhitung kepalanya terbentur tembok, terantuk batu, terpeleset, terserempet kendaraan di jalanan, bahkan terperosok ke selokan. Itu sudah sering ia alami. Namun, ia selalu menyikapi semua itu dengan kesabaran, bahkan senyuman. Yang membuat saya takjub, semua penderitaan itu justru sering ia alami dalam menjalankan aktivitas dakwahnya; berceramah ke berbagai tempat, mengisi ta’lim, melakukan kontak-kontak dakwah, dll. Sering semua itu ia lakukan dengan berjalan kaki sendirian, tanpa teman yang membantu menuntun dirinya. Semua itu ia lakukan dengan selalu bersemangat, tak kenal lelah, meski ia harus sering-sering meninggalkan anak-istrinya.

Jumat, 03 Juni 2011

Umar dengan Umur

Umar bin Khattab (581-644) adalah khalifah yang telah membentangkan pengaruh Islam di sejumlah wilayah yang berada di luar Arab Saudi. Di masanya, Mesopotamia, sebagian Persia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara, dan Armenia, jatuh ke dalam kekuasaan Islam.

Kekuatan sebagai pemimpin sangat luar biasa, hadir berkat tempaan sang pemimpin agung, Muhammad Rasulullah SAW. Namun, dibalik kesuksesannnya sebagai pemimpin negara, Umar tetaplah seorang pribadi yang sangat sederhana.

Suatu hari, anak laki-laki Umar bin Khattab pulang sambil menangis. Sebabnya, anak sang khalifah itu selalu diejek teman-temannya karena bajunya jelek dan robek. Umar lalu menghiburnya. Berganti hari, ejekan teman-temannya itu terjadi lagi, dan sang anak pun pulang dengan menangis.