Rabu, 24 Februari 2010

Kaum Intelektual Bisu dan Palsu

Syabab.Com - Kalau kita cermati jumlah kaum intelektual di Indonesia cukup banyak, tentu hal ini adalah kabar yang cukup menggembirakan bagi kita semua. Sebelum saya membahas lebih lanjut, alangkah baiknya kita fahami definisi kaum intelektual. Kaum intelektual yaitu manusia yang memiliki semangat perubahan dalam dirinya yang semangat perubahan itu bertumpu pada aspek kognisinya dalam mengintepretasikan realitas yang ia lihat. Dengan menggunakan pisau analisisnya, intelektual dapat melihat realitas jauh lebih dalam dari pada orang-orang awam kebanyakan sehingga kemungkinan besar intelektual mencari akar permasalahan pun lebih terbuka lebar.

Namun tidak cukup hanya pada aspek kognisi dari seorang intlektual untuk dapat melihat sebuah realitas dalam masyarakat. Seperti yang dinyatakan oleh Michael Foucault, selalu ada aspek kekuasaan dalam ilmu pengetahuan. Artinya kognisi (pengetahuan) seorang intelektual tidak serta-merta membuatnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakatnya, alih-alih, malah pengetahuan yang dimilikinya digunakan oleh penguasa sebagai alat legitimasi bagi kekuasaannya.  Aspek lain yang diperlukan seorang intelektual dan yang paling penting adalah kesadaran akan tujuan yang ingin dicapai (consciousness). Dengan adanya kesadaran yang dimiliki oleh intelektual maka pengetahuan yang dimilikinya pun digunakan dengan sebuah kesadaran untuk melakukan perubahan. Tapi sekali lagi permasalahan muncul, terkadang kesadaran yang muncul bukanlah kesadaran yang sebenarnya melainkan kesadaran palsu atau yang disebut sebagai kesadaran naif (Naive Consciousness) dimana kesadaran yang dimiliki seseorang sudah terhegemoni oleh kekuasaan tertentu yang ditanamkan melalui indoktrinasi dan pendidikan.

Mahasiswa kalau boleh saya klasifikasikan maka tempat mereka adalah di barisan para intelektual. Mahasiswa adalah kaum dimana berkumpul segala potensi. Dan lebih jauh lagi berani saya katakana bahwa mahasiswa adalah kandidat besar untuk menempati diri dalam posisi intelektual organic artinya kaum intelek yang akan terus menggulirkan pemikiran-pemikiranya. Oleh sebab itu sudah sewajarnya mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia.

Minggu, 21 Februari 2010

Syukur

  Sebagai seorang pembantu rumah tangga, Fulanah, tetangga saya, hanya bergaji tak lebih dari 250 ribu rupiah perbulan. Suaminya hanyalah pekerja serabutan. Penghasilannya pun otomatis tak karuan. Apalagi ia lebih sering menganggur daripada dapat pekerjaan. Dengan dua anak (satu duduk di SMP kelas dua dan satu lagi di SD kelas satu), dengan menggunakan model perhitungan apapun, penghasilan kedua pasangan muda ini jelas jauh dari cukup untuk hidup sebulan.

Yang menakjubkan, sepertinya tak sesaat pun Fulanah tampak berkeluh-kesah, apalagi kelihatan sering gelisah. Saat istri saya bertanya, apakah penghasilannya sebesar itu cukup, sementara suaminya pun sering menganggur? Sambil tersenyum ia menjawab, “Kalau itu mah gak usah ditanya, Bu. Siapapun akan mengatakan uang sebesar itu gak akan cukup untuk sebuah keluarga dengan dua anak seperti saya.”
“Tapi, kok, Bibi kelihatannya gak pernah ngeluh. Kelihatannya selalu riang, seperti gak pernah punya masalah dengan keuangan,” jawab istri saya.
“Alhamdulillah. Allah memang Maha Pemurah. Di gubuk kami yang kecil dan sederhana itu, kami memang tidak punya apa-apa. Namun, sampai hari ini keluarga kami tak pernah sampai kelaparan. Kami juga jarang sakit, selalu sehat. Itulah yang menjadikan kami selalu bersyukur, tak pernah mengeluh. Bagi kami, sehat adalah nikmat yang sangat luar biasa, selain nikmat iman,” jawab perempuan berkerudung itu tegas dan tulus, tak sedikit pun menyiratkan kepura-puraan.

Sebelum istri saya sempat berkata-kata, ia melanjutkan, “Bahkan kalaupun kita sering lapar atau sakit, ditambah lagi kita sering tak punya uang, kita tetap wajib bersyukur. Iya, kan, Bu? Sebab, sebetulnya kita masih punya nikmat yang lain, yakni nikmat hidup. Kita masih bisa bernafas. Nafas itu kan mahal ya, Bu. Coba saja, nafas Ibu disewa, 10 menit saja, seharga Rp 1 miliar, pasti Ibu gak akan kasih, kan? Sepuluh menit tak bernafas bisa mati, kan, Bu,” tegasnya lagi seolah menyakinkan.
Istri saya termangu. Saya pun—yang diam-diam mendengarkan obrolan istri saya dengan pembantu itu—tertegun, takjub.
*****

Banyak Bank Islam Langgar Aturan Syariah

Kurangnya sumber daya manusia pelaku perbankan Islam yang benar-benar memahami hukum syariah, jadi penyebab terjadinya pelanggaran oleh bank Islam. Sebagian lembaga keuangan Islam tidak mematuhi hukum syariah. Mereka menggunakan standar yang rendah dalam pemberian kredit, sehingga menaikan jumlah kredit macet. Demikian kata seorang pakar keuangan syariah.

Hal tersebut terungkap, setelah diketahui lembaga keuangan Islam seperti Abu Dhabi Islamic Bank dan Dubai Islamic Bank menyisihkan milyaran dirham untuk menutupi kerugian akibat kredit macet.

"Lembaga (keuangan) Islam tidak menerapkan prinsip-prinsip syariah," kata Muhammad Daud Bakar, seorang pakar keuangan syariah yang juga Managing Director Amanie Islamic Finance Consultancy.

"Dalam beberapa hal mereka tidak melakukannya dengan baik, sehingga menyebabkan terjadi kredit buruk dalam jumlah besar atau hal lainnya."

Beberapa tahun terakhir, kredit perumahan sangat populer di kalangan investor properti di Uni Emirat Arab. Sebut saja Amlak dan Tamweel, dua lembaga keuangan terbesar, limapuluh persen kreditnya dikucurkan untuk bidang properti.

Mereka menawarkan kredit perumahan dengan uang muka 5 persen saja, sementara debt-service ratio-nya hingga 50%, kira-kira separuh dari gaji peminjam.

Amlak dan Tamweel menolak berkomentar tentang hal itu kepada harian The National yang menurunkan laporannya (17/2/2010).
Ketentuan kredit yang mudah dan murah, memicu pembelian properti semata-mata untuk spekulasi. Demikian menurut para analis.
"Produk-produk kredit perumahan Islam, dari strukturnya, menyebabkan spekulasi di pasar. Karena pembeli tidak perlu membayar pinjaman, kecuali jika rumah mereka sudah dibangun," kata Khalid Howladar dari bagian kredit Moody's Investors Service.


"Banyak spekulartor ‘murni' tidak akan memilih kredit perumahan Islam, jika mereka diwajibkan untuk membayar pinjaman sejak hari pertama (akad kredit)."
Penerapan angsuran tetap oleh para developer tanpa memeriksa dengan baik kemampuan si peminjam untuk mencicil pinjamannya, juga mendukung terjadinya spekulasi.
Pelanggaran lain yang dilakukan lembaga keuangan Islam adalah, di antara mereka ada yang memberlakukan security cheque, yang jelas tidak sesuai dengan prinsip syariah.

Namun dikatakan oleh Hussain Hamid Hassan, seorang pakar keuangan terkemuka yang memegang jabatan di banyak institusi keuangan, "Pelanggaran yang semacam ini bukan pelanggaran terkait produk bank yang (sudah) sesuai hukum syariah, melainkan pelanggaran pada kebijakan kredit bank."

Jawad Ali, seorang praktisi dan pemilik firma hukum King and Spalding, berpendapat bahwa pelanggaran juga terjadi karena faktor budaya. Contohnya pada pinjam-meminjam ijarah (sewa-beli).
"Bukan instrumennya saja yang memungkinkan terjadinya pelanggaran. Ada budaya selama ini yang memperbolehkan pihak pembeli pertama mengeruk untung dengan cara menjual kontrak kredit mereka kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan pemberi kredit," kata Ali.