Selasa, 27 September 2011

Da’i

Saat ini sebetulnya tidak ada yang disebut pak haji di Indonesia,” demikian salah satu kalimat yang dilontarkan seorang tokoh Muslim terkenal di Tanah Air dalam suatu acara dialog yang dikemas secara santai. Hadirin yang mendengar tentu saja heran dan bingung. “Lha, iya,” setengah berseloroh sang tokoh buru-buru melanjutkan pernyataannya. “Coba saja pikirkan. Dalam bahasa fikih, orang yang sedang shalat itu ya disebut mushalli; orang yang menunaikan zakat disebut muzakki; orang yang sedang shaum disebut sha’im. Haji (al-Hajj) itu ya orang yang sedang menunaikan ibadah haji. Jadi, di dunia saat ini sebetulnya tidak yang namanya haji. Haji ya adanya di musim haji,” katanya santai. Mendengar lontaran kata-kata sang tokoh dengan nada guyonan tersebut hadirin pun manggut-manggut sembari tertawa kecil. ***** Meski ungkapan di atas mungkin ada benarnya, tulisan ringan ini tidaklah berkepentingan membahas lebih jauh apalagi mempersoalkan sebutan atau gelar haji yang memang sudah menjadi bagian dari kultur/budaya kaum Muslim, khususnya di Tanah Air. Tulisan berikut hanya ingin sedikit membincangkan sebutan atau gelar yang biasanya sangat erat kaitannya dengan keadaan orang yang menyandangnya. Sebutan/gelar paling tidak merujuk pada: Pertama, seseorang yang sedang melakukan sesuatu. Contohnya seperti kata mushalli (orang yang sedang shalat), muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), haji atau al-hajj (orang yang sedang menunaikan ibadah haji); sebagaimana yang digambarkan sang tokoh di atas. Contoh lain: mujahid (orang yang sedang berperang di jalan Allah SWT), musafir (orang yang sedang melakukan safar), mu’takif (orang yang sedang beritikaf di masjid), dst. Kedua, seseorang yang biasa melakukan sesuatu. Karena kebiasaannya, aktivitasnya kadang telah menjadi semacam profesi. Contoh: mu’allim (orang yang biasa atau berprofesi mengajarkan ilmunya kepada masyarakat), mu’adzin (orang yang biasa atau berprofesi sebagai tukang mengumandangkan azan), qari’ (orang yang biasa atau berprofesi sebagai pembaca al-Quran), dst. Ketiga, seseorang yang memiliki kedudukan/status tertentu. Contoh: muslim (orang yang memeluk agama Islam), ‘alim (orang yang bersatus sebagai ulama [yang memiliki banyak ilmu]), hakim (orang yang berkedudukan sebagai pemutus perkara/hukum), mudir (orang yang memimpin sebuah institusi/lembaga yang berwenang melakukan idarah [memimpin dan mengelola]), kafir (orang non-Muslim), fasik (orang yang biasa bermaksiat), munafik (orang yang hakikatnya kafir tetapi lahiriahnya menampilkan diri sebagai Muslim), dst. Bagaimana dengan sebutan da’i? Istilah da’i tentu lebih dekat dengan—atau merujuk pada—seseorang yang biasa atau berprofesi sebagai juru dakwah (hamil ad-da’wah). Namun demikian, da’i juga bisa merujuk pada seseorang yang berkedudukan atau berstatus sebagai pengemban dakwah. Dalam hal ini, istilah da’i tentu berbeda dengan istilah mushalli, muzakki, atau haji. Karena itu, istilah da’i tidaklah tepat kalau hanya digunakan untuk menyebut orang yang sedang berdakwah tetapi tidak terbiasa berdakwah, apalagi tidak ‘berprofesi’ atau berstatus sebagai pengemban dakwah (hamil ad-da’wah). ***** Pengemban dakwah (hamil ad-da’wah) adalah orang yang biasa mengemban dakwah (haml ad-da’wah). Menurut Syaikh Abdul Lathif Uwaidhah dalam kitabnya, Haml ad-Da’wah Wajibat wa Shifat, mengemban dakwah (haml ad-da’wah) terdiri dari dua kata: al-haml (mengemban) dan ad-da’wah (dakwah). Menurut beliau, al-haml adalah usaha atau kegiatan menyampaikan risalah (tabligh ar-risalah); sementara ad-da’wah adalah ar-risalah, yakni al-Islam itu sendiri. Menurut beliau pula, seseorang yang telah menyandang status sebagai pengemban dakwah dituntut untuk selalu lurus dan istiqamah dalam dua hal tersebut. Pertama: Lurus dan istiqamah dalam risalah (Islam) yang ia sampaikan. Artinya, ia harus selalu menyampaikan Islam yang lurus secara konsisten, tidak menyimpang dan tidak berubah-ubah. Di sinilah pentingnya seorang pengemban dakwah menjadi orang yang faqih fi ad-din (memahami Islam secara mendalam). Dengan pemahaman Islam yang mendalam, ia bisa terbebas dari ketergelinciran atau penyimpangan dari Islam yang sebenarnya. Ia akan senantiasa bisa istiqamah dalam menyampaikan Islam yang lurus. Faktanya, tidak semua da’i atau pengemban dakwah bisa lurus dan istiqamah dalam hal ini. Tidak sedikit da’i atau pengemban dakwah yang sering mencla-mencle, menyimpang dan menyampaikan Islam secara serampangan. Tak sedikit mereka yang bergelar da’i atau pengemban dakwah malah menyerukan demokrasi, nasionalisme, HAM dan pluralisme, misalnya. Sebaliknya, mereka malah menolak syariah dan Khilafah bahkan menentang para pejuangnya. Tentu, mereka sesungguhnya tidaklah layak disebut atau digelari sebagai da’i atau juru dakwah. Sebab, yang mereka serukan hakikatnya bukan Islam, tetapi kekufuran. Padahal bukankah ad-da’wah—sebagaimana kata Syaikh Abdul Lathif Uwaidhah di atas—hakikatnya adalah al-Islam, bukan yang lain? Kedua: Lurus dan istiqamah dalam usaha atau kegiatan mengemban Islam. Artinya, seorang yang mengaku pengemban dakwah harus menjadikan dakwah sebagai poros hidupnya, sebagai ‘profesi’ utamanya, bahkan sebagai ‘status sosial’-nya yang paling penting di masyarakat. Ia tidak setengah hati berdakwah, tidak menjadikan dakwah sebagai kegiatan sampingan, tidak malas-malasan, apalagi sampai futur di jalan dakwah. Jika ia hanya sekadar jarang absen dalam halaqah, sementara dakwahnya hanya sekali-kali, ia tak layak mengklaim diri sebagai pengemban dakwah meski ia ‘tercatat’ sebagai anggota suatu jamaah dakwah. Demikian pula jika ia lebih dikenal di masyarakat sebagai pekerja/buruh, karyawan, mahasiswa, pelajar, supir, petani, pedagang, pengusaha, ketua RT, pesepakbola, pegiat seni, dll; sementara ‘profesi’ dan statusnya sebagai da’i atau pengemban dakwah hanya terdengar samar-samar hingga nyaris tak terdengar. Jika ini menjadi gejala umum, selayaknya kita khawatir, jangan-jangan inilah yang menjadikan kita terlambat mendapatkan nashrulLah. Maka dari itu, tak ada salahnya kita mengulang-ulang jargon yang pernah dikumandangkan seorang ulama dan aktivis dakwah terkenal: Nahnu du’at qabla kulli syay’[in]! Wama tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar